Jane dan Pak Al kembali ke kelas, sebelum tanda habis pelajaran berbunyi.
”Kita harus kembali ke kelas Jane, waktu tinggal 30 menit lagi, aku belum menjelaskan mengenai kaki unta,” kata Pak Al, nampak panik, kepada Jane.
”Bukankah itu baik,” balas Jane, sebelum mereka menginjakkan kaki ke anak tangga pertama menuju lantai 2.
”Kau gila? Bukankah kau murid yang paling menyukai matematika?” tanya Pak Al, sembari tetap melangkah ke lantai 2.
”Hufft, aku memang menyukai matematika, namun ...,” jawab Jane.
Seperti biasa, Pak Al langsung memotongnya ”Namun apa?” tanya Pak Al.
”Namun, aku lebih menyukainya,” kata Jane, tersipu malu. Wajah Jane nampak merah, bahkan ia hampir jatuh dari anak tangga, karena mulai berpikir yang aneh dan mengatakannya kepada Pak Al.
”Nya?” Pak Al kembali bertanya.
”Ya, kau tentu tahu, yang sedang menghuni Bed 003 Hospii,” kata Jane, wajahnya pun semakin merah.
”Jane? Beraninya kau berkata itu pada gurumu!” kata Pak Al, dengan meninggikan nada suaranya.
”Bukankah kau yang bilang, di pidato awal tahunmu, kalau kau adalah psikolog,” ucap Jane, tampak kesal.
”Ya, tapi, Bruce bukan orang Jaxy!” Pak Al semakin marah.
”Aku hanya ingin dia, itu saja, kau jangan mengganggu!” Jane mulai marah.
Jane adalah murid teladan bagi Pak Al. Seringkali, Pak Al menjadi tempat curhat Jane. Hubungan mereka memang dekat, karena nenek Jane bersudara dengan ibu Pak Al. Karena itu, Pak Al menganggap perlawanan dari Jane biasa baginya.
Jane dengan wajah merah dan penuh kekesalan, menghentakkan kakinya di ujung tangga, ia pun sampai di lantai dua. Sebelum menaiki anak tangga kembali, ke lantai tiga, ia berbelok ke arah kanan, ke bagian lokal tingkat 6. Ia sempat berhenti di lokal 6-5. Pak Al pun mulai kehilangan jejaknya, setelah lebih lambat 1 menit sampai ke lantai 2 dari Jane, yang melakukannya dengan berlari.
”Hey, Jane aku tidak kuat lagi mengejarmu. Di mana kau?” teriak Pak Al.
Teriakan keras Pak Al menyusuri setiap lorong lantai 2. Namun, tidak ada satu kata pun jawaban dari pertanyaan kerasnya itu.
Malam harinya.
Bruce masih terbaring lemah di Bed 003. Beberapa perawat mulai meninggalkannya.
Karena seharian bersama, Bruce mulai terlihat akrab dengan Kepala Perawat, Bu Cilia.
”Selamat malam, Bruce. Aku akan menginap di Water Dorm. Beberapa temanmu juga ada. Oh ya, kabarnya kau sangat akrab dengan Lee?” tanya Bu Cilia dengan senyuman manisnya.
”Lee? Dia sangat baik kepadaku. Ia duduk dekatku. Walaupun menggunakan nama Mandarin, ia lebih mirip orang Eropa,” jawab Bruce, dengan wajah terkulai.
”Hoh. Aku juga berpikiran seperti itu. Lee berada di Fire Dorm,” kata Bu Cilia, sembari melihat jam dinding.
”Fire Dorm? Ada berapa asrama di sekolah ini, Bu? Aku masih bingung dengan Douglos,”ujar Bruce.
”Water Dorm, jika kau nanti sudah dewasa, dan mengajar atau bekerja di Douglos, kau akan banyak menghabiskan waktumu di sana.”
”Fire Dorm?”
”Bagi siwa tingkat 6-12, yang ingin menginap, mereka bisa menginap di sana. Seperti Lee, orangtua mereka berada di kaki Gunung Wolly, karena itu ia lebih memilih berasrama.”
”Gunung Wolly? Jadi, di kota ini ada gunung?”
”Tentu saja, Wolly adalah gunung yang sangat indah, jadwal study tour kita selanjutnya.”
”Study Tour?” Bruce semakin bingung.
“Akhir pelajaran, biasanya kami melakukannya.”
”Sangat menarik.”
”Tentu, sudah terlalu larut untuk berbincang-bincang, kau perlu beristirahat. Gilly, di Bed 004, akan menemanimu. Kau tahu? Ia teman sekelasmu.”
”Ya, Bu. Selamat Malam!”
”Malam!” ucap Bu Cilia.
Bu Cilia melangkahkan kakinya menuju tombol lampu, ia hendak mematikan lampu di Bed 003. Bu Cilia, kembali berjalan menuju pintu ruangan Hospii. Ia membuka pintunya dengan sangat perlahan, kemudian menutupnya kembali. Bu Cilia meninggalkan Gedung A-1, menuju Water Dorm, yang berada di belakang Gedung A-2.
Tiba-tiba, sebelum mata Bruce tertutup, lampu bednya, kembali menyala.
”Hey, ini belum pagi kan?” tanya Bruce.
”Belum, ini aku,” kata seorang yang berdiri di samping tempat tidur Bruce.
”Hey Bruce, apa itu teman wanitamu? Kuminta matikan lampunya. Itu sangat silau. Jika tidak, aku pindah saja ke sana,” kata Gilly (Bed 004), sembari menunjuk Bed 012.
”Kau jangan bercanda Gilly muka kusam!” kata gadis yang berdiri di samping Bed 003.
”Aneh sekali, Bruce didekati seorang Jane, hahaha,” ujar Gilly sambil tertawa dengan suara kecil.
”Jane?” tanya Bruce terkejut.
”Ya ini aku. Oh ya, Gilly, kau yakin ingin berada sendirian di tempat tidur itu?” tanya Gilly, menunjuk Bed 012.
”Aku tidak takut, pecundang!” bentak Gilly dengan suara yang agak keras.
”Diam !” teriak penghuni Bed 002.
”Ya, sebaiknya kau pergi, Gilly!” kata Bruce, menampakkan kebijaksanaannya.
”Baik!” kata Gilly, Ia mulai berdiri, dari posisi duduk di bednya, kemudian menuju Bed 012, yang berada di seberang bednya.
”Selamat tidur!” ujarnya dari jauh.
”Ya,” teriak Bruce.
”Jangan berisik lagi!” tiba-tiba penghuni Bed 002, kembali marah.
”Oh maaf,” kata Bruce.
Jane menatap Bruce.
”Lalu, mengapa kau ada di sini?” tanya Bruce.
”Aku terjebak, di toilet lantai 2, setelah aku kabur dari mata pelajaran Aljabar,” jawab Jane.
”Bu Cilia berkata kalau kau yang paling cerdas aljabar.”
”Aku mulai membencinya.”
”Membencinya?”
”Ya, Pak Al, masalahnya. Ia terlalu sok tau bagiku. Ia selalu mengaturku, menggangguku,” kata Jane, ia menundukkan kepalanya.
”Hey, jangan berisik kumohon!” teriak Penghuni Bed 002, ia mulai berdiri dari tempat tidurnya.
”Baiklah, kami akan keluar,” keluh Jane.
”Kau bercanda?” tanya Bruce.
”Tak apa, tenang saja. Semuanya akan aman,” jelas Jane.
”Kalian pergi!” bentak Penghuni Bed 002.
”Kita keluar dari Hospii,” kata Jane, sembari menatap Bruce.
”Baik,” jawab Bruce.
Mereka berdua mulai melangkahkan kaki. Sebelumnya, Jane mematikan bed lamp di 002. Jane melangkahkan sepatu dengan pelan-pelan. Sementara Bruce, tanpa alas kaki, membuka pintu Hospii, yang mudah terbuka, karena kuncinya rusak. Jane ikut keluar dari Hospii, bersama Bruce. Bruce kembali menutup pintu Hospii.
Di luar Hospii, Bruce kembali bertanya kepada Jane.
”Apa yang akan kita lakukan?”
”Mengobrol, di kursi tunggu, ayo ikut aku,” kata Jane, mulai berlari menuju ruang tunggu.
”Tunggu!” Bruce mengikutinya.
Sesampai di ruang tunggu, Bruce pun masih bingung.
”Apa yang ingin kau katakan,” kata Bruce, mengambil salah satu kursi, setelah Jane duduk di kursi yang tampak gelap, karena tidak ada cahaya.
”Duduklah! Kau harus mengetahui, apapun yang belum kau ketahui di sini!” ujar Jane.
Setelah duduk, Bruce kembali bertanya.
”Maksudmu?”
”Sekolah ini, Kota Jaxy, Kehidupan Jaxy, kau belum tahu apapun,” kata Jane
”Belum tahu? Hah?” Bruce semakin bingung.
Tiba-tiba, Bu Cilia dating.
“Bruce, kenapa kau di sini?”
”Bukannya Ibu sudah tidur?” tanya balik dari Bruce.
”Aku lupa mengambil beberapa pack obat, aku harus mengemasnya lagi,” kata Bu Cilia.
”Owh begitu,” kata Bruce, tampak mengerti.
”Maaf Bu, saya terjebak di sini, saat di toilet,” kata Jane.
”Di toilet? Mana mungkin? Tetapi, ya sudah, kau pergi saja, ke Fire Dorm, aku akan mengabarkan orangtuamu,”
”Orangtua?” Jane kembali bertanya.
”Ya, silahkan, pergi ke Fire Dorm, kau harus istirahat!” perintah Bu Cilia.
”Bruce, kembali ke Hospii, kau harus istirahat. Kalau panas, kau tinggal memencet Cold Bed, di papan di dekat bedmu.
“Baiklah, Bu,” kata Bruce.
Bruce kembali ke Bed 003, dan melanjutkan tidurnya.