Kamis, 30 Desember 2010

JAXY - Chapter 2 : A Night in Hospii

Jane dan Pak Al kembali ke kelas, sebelum tanda habis pelajaran berbunyi.

”Kita harus kembali ke kelas Jane, waktu tinggal 30 menit lagi, aku belum menjelaskan mengenai kaki unta,” kata Pak Al, nampak panik, kepada Jane.

”Bukankah itu baik,” balas Jane, sebelum mereka menginjakkan kaki ke anak tangga pertama menuju lantai 2.

”Kau gila? Bukankah kau murid yang paling menyukai matematika?” tanya Pak Al, sembari tetap melangkah ke lantai 2.

”Hufft, aku memang menyukai matematika, namun ...,” jawab Jane.

Seperti biasa, Pak Al langsung memotongnya ”Namun apa?” tanya Pak Al.

”Namun, aku lebih menyukainya,” kata Jane, tersipu malu. Wajah Jane nampak merah, bahkan ia hampir jatuh dari anak tangga, karena mulai berpikir yang aneh dan mengatakannya kepada Pak Al.

”Nya?” Pak Al kembali bertanya.

”Ya, kau tentu tahu, yang sedang menghuni Bed 003 Hospii,” kata Jane, wajahnya pun semakin merah.

”Jane? Beraninya kau berkata itu pada gurumu!” kata Pak Al, dengan meninggikan nada suaranya.

”Bukankah kau yang bilang, di pidato awal tahunmu, kalau kau adalah psikolog,” ucap Jane, tampak kesal.

”Ya, tapi, Bruce bukan orang Jaxy!” Pak Al semakin marah.

”Aku hanya ingin dia, itu saja, kau jangan mengganggu!” Jane mulai marah.

Jane adalah murid teladan bagi Pak Al. Seringkali, Pak Al menjadi tempat curhat Jane. Hubungan mereka memang dekat, karena nenek Jane bersudara dengan ibu Pak Al. Karena itu, Pak Al menganggap perlawanan dari Jane biasa baginya.

Jane dengan wajah merah dan penuh kekesalan, menghentakkan kakinya di ujung tangga, ia pun sampai di lantai dua. Sebelum menaiki anak tangga kembali, ke lantai tiga, ia berbelok ke arah kanan, ke bagian lokal tingkat 6. Ia sempat berhenti di lokal 6-5. Pak Al pun mulai kehilangan jejaknya, setelah lebih lambat 1 menit sampai ke lantai 2 dari Jane, yang melakukannya dengan berlari.

”Hey, Jane aku tidak kuat lagi mengejarmu. Di mana kau?” teriak Pak Al.

Teriakan keras Pak Al menyusuri setiap lorong lantai 2. Namun, tidak ada satu kata pun jawaban dari pertanyaan kerasnya itu.

Malam harinya.

Bruce masih terbaring lemah di Bed 003. Beberapa perawat mulai meninggalkannya.

Karena seharian bersama, Bruce mulai terlihat akrab dengan Kepala Perawat, Bu Cilia.

”Selamat malam, Bruce. Aku akan menginap di Water Dorm. Beberapa temanmu juga ada. Oh ya, kabarnya kau sangat akrab dengan Lee?” tanya Bu Cilia dengan senyuman manisnya.

”Lee? Dia sangat baik kepadaku. Ia duduk dekatku. Walaupun menggunakan nama Mandarin, ia lebih mirip orang Eropa,” jawab Bruce, dengan wajah terkulai.

”Hoh. Aku juga berpikiran seperti itu. Lee berada di Fire Dorm,” kata Bu Cilia, sembari melihat jam dinding.

”Fire Dorm? Ada berapa asrama di sekolah ini, Bu? Aku masih bingung dengan Douglos,”ujar Bruce.

”Water Dorm, jika kau nanti sudah dewasa, dan mengajar atau bekerja di Douglos, kau akan banyak menghabiskan waktumu di sana.”

”Fire Dorm?”

”Bagi siwa tingkat 6-12, yang ingin menginap, mereka bisa menginap di sana. Seperti Lee, orangtua mereka berada di kaki Gunung Wolly, karena itu ia lebih memilih berasrama.”

”Gunung Wolly? Jadi, di kota ini ada gunung?”

”Tentu saja, Wolly adalah gunung yang sangat indah, jadwal study tour kita selanjutnya.”

”Study Tour?” Bruce semakin bingung.

“Akhir pelajaran, biasanya kami melakukannya.”

”Sangat menarik.”

”Tentu, sudah terlalu larut untuk berbincang-bincang, kau perlu beristirahat. Gilly, di Bed 004, akan menemanimu. Kau tahu? Ia teman sekelasmu.”

”Ya, Bu. Selamat Malam!”

”Malam!” ucap Bu Cilia.

Bu Cilia melangkahkan kakinya menuju tombol lampu, ia hendak mematikan lampu di Bed 003. Bu Cilia, kembali berjalan menuju pintu ruangan Hospii. Ia membuka pintunya dengan sangat perlahan, kemudian menutupnya kembali. Bu Cilia meninggalkan Gedung A-1, menuju Water Dorm, yang berada di belakang Gedung A-2.

Tiba-tiba, sebelum mata Bruce tertutup, lampu bednya, kembali menyala.

”Hey, ini belum pagi kan?” tanya Bruce.

”Belum, ini aku,” kata seorang yang berdiri di samping tempat tidur Bruce.

”Hey Bruce, apa itu teman wanitamu? Kuminta matikan lampunya. Itu sangat silau. Jika tidak, aku pindah saja ke sana,” kata Gilly (Bed 004), sembari menunjuk Bed 012.

”Kau jangan bercanda Gilly muka kusam!” kata gadis yang berdiri di samping Bed 003.

”Aneh sekali, Bruce didekati seorang Jane, hahaha,” ujar Gilly sambil tertawa dengan suara kecil.

”Jane?” tanya Bruce terkejut.

”Ya ini aku. Oh ya, Gilly, kau yakin ingin berada sendirian di tempat tidur itu?” tanya Gilly, menunjuk Bed 012.

”Aku tidak takut, pecundang!” bentak Gilly dengan suara yang agak keras.

”Diam !” teriak penghuni Bed 002.

”Ya, sebaiknya kau pergi, Gilly!” kata Bruce, menampakkan kebijaksanaannya.

”Baik!” kata Gilly, Ia mulai berdiri, dari posisi duduk di bednya, kemudian menuju Bed 012, yang berada di seberang bednya.

”Selamat tidur!” ujarnya dari jauh.

”Ya,” teriak Bruce.

”Jangan berisik lagi!” tiba-tiba penghuni Bed 002, kembali marah.

”Oh maaf,” kata Bruce.

Jane menatap Bruce.

”Lalu, mengapa kau ada di sini?” tanya Bruce.

”Aku terjebak, di toilet lantai 2, setelah aku kabur dari mata pelajaran Aljabar,” jawab Jane.

”Bu Cilia berkata kalau kau yang paling cerdas aljabar.”

”Aku mulai membencinya.”

”Membencinya?”

”Ya, Pak Al, masalahnya. Ia terlalu sok tau bagiku. Ia selalu mengaturku, menggangguku,” kata Jane, ia menundukkan kepalanya.

”Hey, jangan berisik kumohon!” teriak Penghuni Bed 002, ia mulai berdiri dari tempat tidurnya.

”Baiklah, kami akan keluar,” keluh Jane.

”Kau bercanda?” tanya Bruce.

”Tak apa, tenang saja. Semuanya akan aman,” jelas Jane.

”Kalian pergi!” bentak Penghuni Bed 002.

”Kita keluar dari Hospii,” kata Jane, sembari menatap Bruce.

”Baik,” jawab Bruce.

Mereka berdua mulai melangkahkan kaki. Sebelumnya, Jane mematikan bed lamp di 002. Jane melangkahkan sepatu dengan pelan-pelan. Sementara Bruce, tanpa alas kaki, membuka pintu Hospii, yang mudah terbuka, karena kuncinya rusak. Jane ikut keluar dari Hospii, bersama Bruce. Bruce kembali menutup pintu Hospii.

Di luar Hospii, Bruce kembali bertanya kepada Jane.

”Apa yang akan kita lakukan?”

”Mengobrol, di kursi tunggu, ayo ikut aku,” kata Jane, mulai berlari menuju ruang tunggu.

”Tunggu!” Bruce mengikutinya.

Sesampai di ruang tunggu, Bruce pun masih bingung.

”Apa yang ingin kau katakan,” kata Bruce, mengambil salah satu kursi, setelah Jane duduk di kursi yang tampak gelap, karena tidak ada cahaya.

”Duduklah! Kau harus mengetahui, apapun yang belum kau ketahui di sini!” ujar Jane.

Setelah duduk, Bruce kembali bertanya.

”Maksudmu?”

”Sekolah ini, Kota Jaxy, Kehidupan Jaxy, kau belum tahu apapun,” kata Jane

”Belum tahu? Hah?” Bruce semakin bingung.

Tiba-tiba, Bu Cilia dating.

“Bruce, kenapa kau di sini?”

”Bukannya Ibu sudah tidur?” tanya balik dari Bruce.

”Aku lupa mengambil beberapa pack obat, aku harus mengemasnya lagi,” kata Bu Cilia.

”Owh begitu,” kata Bruce, tampak mengerti.

”Maaf Bu, saya terjebak di sini, saat di toilet,” kata Jane.

”Di toilet? Mana mungkin? Tetapi, ya sudah, kau pergi saja, ke Fire Dorm, aku akan mengabarkan orangtuamu,”

”Orangtua?” Jane kembali bertanya.

”Ya, silahkan, pergi ke Fire Dorm, kau harus istirahat!” perintah Bu Cilia.

”Bruce, kembali ke Hospii, kau harus istirahat. Kalau panas, kau tinggal memencet Cold Bed, di papan di dekat bedmu.

“Baiklah, Bu,” kata Bruce.

Bruce kembali ke Bed 003, dan melanjutkan tidurnya.

JAXY - Chapter 1 : Douglos School

“Hey Bruce!” sapa James yang seakan menampar wajah Bruce yang tampak murung, pada hari pertamanya bersekolah di Douglos.

“Ya, api ini sangat mengerikan,” jawab Bruce terhadap sapaan James.

”Tidak ada yang pernah mengira Douglos indah, Bruce,” James berusaha menghibur Bruce, tetapi perkataannya malah membuat Bruce takut.

”Ya, aku tahu, tapi ...”

”Hey, segera masuk, kau akan ku antar ke kelas,” potong James, menarik pergelangan tangan kiri Bruce yang dilingkari jam tangan berwarna perak mengkilap.

Mereka berdua menuju ke gedung utama Douglos School, di Gedung A-1, mereka menyusuri lorong paling terang di Kampus ini. Seluruh siswa berekspresi gembira tampak di setiap sudut. Akhirnya, mereka sampai pada pintu besi abu-abu, yang mengawali ruangan kelas 7-1.

”Ini ruanganmu Bruce,” ujar James, sebelum Bruce membuka pintu tersebut dengan tangan kirinya (Bruce adalah seorang kidal).

Bruce membuka pintu tersebut.

”Waw, ini menakjubkan, tidak seperti di luar,” Bruce tampak kagum dengan ruangan kelas barunya itu.

Ruangan tersebut berwarna putih, secara umum, dilengkapi fasilitas Greet Smily (Penampil Hologram), dan juga Dreamy Face (benda elektronik ini, bisa membuat pelajar merasa berada pada alam lain). Ruangan kelasnya jauh berbeda dengan keadaan luar Douglos yang sangat suram. Di luar gedung, daun-daun farcury (apel biru) selalu berjatuhan setiap musim siswa baru.

”Owh kalau begitu, aku ke kantorku dulu, Bruce, jika ada masalah, hubungi saja aku,” kata James, sembari melepaskan tangannya dari Bruce, setelah memperkenalkan ruangan kelas barunya.

”Baik, tunggu dulu apa aku harus memanggilmu Bapak?” tanya Bruce.

”Tidak, anggap saja aku masih tetangga sebelah rumahmu”

Setelah James pergi, Bruce langsung memperhatikan ruangan cerah itu. Memperhatikan wajah-wajah bahagia dari teman-teman barunya.

”Hai, aku Will, apakah kau murid baru?” Tanya seseorang yang bernama Will kepada Bruce.

”Ya, a.. a.. ku murid baru, oo.. namaku, Bruce,” jawab Bruce dengan sedikit gugup.

”Kau bercanda? Kau mau masuk ke sekolah ini?” tanya Will lagi.

”Sekolah ini berhantu!” sela satu orang lagi.

”Heh? Aku tidak terlalu percaya,” jawab Bruce.

”Ya sudah, kau duduk dekatku, di depanmu, Will akan duduk. Oh, ya, aku Lee,” kata orang yang menyela, yang ternyata namanya adalah Lee.

”Lee?”

”Ya, aku keturunan China, Lee Williams,” jelas Lee.

“Ya, aku akan segera duduk,” kata Bruce.

Bruce menduduki kursi yang terlihat megah, berwarna putih, seperti soffa, kursinya sangat empuk. Bruce meletakkan tasnya, di meja putih yang juga terlihat megah.

Beberapa saat Bruce duduk, tiba-tiba seorang berkumis lebat masuk.

”Selamat pagi, semua!” sapanya.

”Selamat pagi, pak!” semua siswa menjawab.

Bruce menyadari pria berkumis lebat itu adalah gurunya.

”Hey, 0099, kau murid baru?” tanyanya.

Bruce pun heran.

”Siapa yang ia maksud?” bisik Bruce kepada Lee.

”Itu ID mu, kau harus menjawabnya, ia sedikit galak,” balas Lee.

”Owh, ya.. aya... ya.. Pak, aku murid baru. Perkenalkan namaku...”

”Aku tidak butuh namamu,”potong guru berkumis lebat itu.

”Aku Guru Aljabar, sangat galak, panggil aku Al,” katanya.

Guru Aljabar, yang biasa dipanggil Pak Al itu menghempaskan sebuah buku tebal ke wajah mejanya. ’bruuk’. Ia mulai membuka Buku Aljabar 987 pages, tersebut.

”Jika kalian berniat mempelajari Aljabar, kalian haru....” jelasnya panjang lebar.

Tak sedikit pun kata dari Pak Al, yang didenganr Bruce. Ia masih merasa jengkel, dengan ucapan guru Aljabarnya itu. Selain itu, sebelum pindah ke Kota Jaxy, di Kingsley, Bruce selalu mendapat nilai aljabar yang buruk di kelasnya. Ia bahkan sempat membolos berpuluhan kali, untuk kabur dari pelajaran menyebalkan tersebut.

Bruce berkali-kali melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, berharap pukul 12.00 dari 10.00 menjadi 1 detik saja. Ia mulai merasa bosan dengan perlakuan guru egoisnya itu.

”Kau tidak memperhatikanku 0098?” bentak Al.

”Aku hanya berpikir mengapa unta memiliki empat kaki,” kata Bruce mengalihkan pembicaraan, teknik ini ia pelajari sejak kelas 5.

”Kau hanya perlu menambahkan x dengan ...” jelas Al.

Kedua bola mata Bruce, tampak memperhatikan setiap gerak Al, namun lagi-lagi, hanya beberapa kata awal saja yang dapat diproses otaknya. Bruce kembali berpikir, andaikan penjelasannya selama 7 jam, aku bisa mati menggigil di sini. Bruce serasa ingin muntah di hadapan Pak Al.

”Boleh aku ke luar sebentar?” tanya Bruce

”Tidak, sebelum aku menjelaskan bahwa x tidak sama dengan y, jika kaki unta tersebut ...” cetus Pak Al.

Bruce benar-benar memuntahkaan seluruh sarapan paginya, di hadapan Pak Al.

”Kau kenapa? Aku akan segera membawamu ke Hospii, 0077, bantu aku!” Pak Al memanggil seorang siswi untuk membantunya mengangkat Bruce ke hospii (rumah sakit sekolah yang sangat nyaman).

”Baik, Pak!” jawab siswi itu.

Mereka membawa tubuh Bruce ke luar kelas. Bruce masih menggerakkan bola matanya, setelah, mencium bau aneh, yang tiba-tiba saja tercium olehnya, ketika mengabaikan penjelasan Pak Al.

”Kau harus hati-hati mengankatnya, Jane,” kata Pak Al.

”Tentu, tapi ...,” Jane ingin membantah.

“Tak apa, ini di luar kelas, panggilan nama dianggap sah,” potong Pak Al.

Mereka sampai di lantai dasar Gedung A-1. Tempat pusat hospii di sekolah tersebut. Hospii berbau aneh, karena pengaruh obat-obatan, tapi baunya tidak terlalu mengganggu. Di sana, Pak Al berjumpa dengan Cilia, Kepala Perawat Hospii.

”Murid baru ini, tampak tidak enak badan, Bu,” kata Pak Al kepada Bu Cilia.

”Tenang, Al, aku akan menanganinya, kau antarkan saja dia ke Bed 003,” kata Cilia.

”Ada yang mengisi 1 dan 2?”

”Ya, kelas Kimia di lantai 3, sepertinya keracunan,” jawab Cilia.

Pak Al dan Jane melewati Bu Cilia, sambil menagngkat Bruce ke Bed 003.

”Hey, Jane, kau juga nampak sakit, terlalu pucat,” kata Bu Cilia.

”Tidak apa, Bu. Aku terlalu banyak memakai Bedak, ya kau tahu saja, kalau aku memakai Britney White (bedak putih) secara berlebihan, itu tren remaja putri,” kata Jane.

”Ehm, ini berat Jane,” sela Pak Al, sambil menggoyang-goyangkan tubuh Bruce.

”Oh ya, aku masuk dulu, Bu,” kata Jane, mengakhiri percakapannya dengan Bu Cilia.

”Tentu, hati-hati Bruce,” akhir Bu Cilia dengan mata melotot ke arah wajah Bruce.

Bruce berusaha menyembunyikan wajahnya dari Bu Cilia. Mereka memasuki Hospii, dan beberapa detik kemudian, mereka sampai di Bed 003.

”Istirahat di sini, Cilia akan segera merawatmu, Bruce. Oh ya, di Bed ini, dulu aku juga pernah terbaring selama 2 hari, aku masih mengingatnya. Ketika itu, Asrama Douglos masih layak ditempati. Selain itu, kabarnya, walikota juga pernah terkulai di sini selama 4 jam, karena keracunan bau Farcury, dalam Kelas Kimia,” jelas Pak Al.

Bruce hanya menebarkan senyumnya.

”Hati-hati Bruce, hehehe. Aku pergi dulu ya,” kata Jane, sembari menatap sepasang bola mata Bruce.

Bruce kembali tersenyum.

To be continued